Kuburan Wangi di Desa Trunyan Bali
Wednesday, November 5, 2014
Add Comment
Desa Trunyan merupakan salah satu desa warisan budaya Bali yang cukup unik. Desa tersebut merupakan salah satu Desa Bali Aga. Bali Aga sendiri bermakna Bali Asli, yaitu kehidupan masyrakat Bali asli tempo dulu. Nama Bali Aga Tours atau Wisata Bali Aga pun terinspirasi dari kehidupan desa Bali Aga.
Desa Trunyan terkenal dengan adat istiadatnya yang berbeda dari desa lain. Untuk mencapai Desa Trunyan, kita akan terlebih dahulu melewati obyek wisata penelokan. Dari Denpasar akan menempuh jarak kurang lebih 65 km. Dari Penelokan, anda dapat memandang indahnya danau Batur. Terkadang terlihat perahu boat saat melayani wisatawan dalam setiap penyebrangan dari desa Kedisan ke Desa Trunyan. Sebelum menuju Trunyan, anda sebaiknya menikmati pemandangan eksotis Gunung dan danau Batur dari Desa Penelokan. Hembusan angin dan udara yang sejuk, memberikan kedamaian hati bagi para pengunjung. Tempat ini merupakan salah satu obyek wisata favorit di Bali.
Untuk melengkapi fasilitas wisata yang ada di Kawasan Batur di Desa Kedisan dibangun sebuah dermaga boat yang khusus melayani penyebrangan menuju ke Trunyan. Untuk satu buah motor boat, biasanya maksimal mampu menampung tujuh orang wisatawan. Dengan tariff angkutan yang terjangkau yaitu Rp 250,000,- per tujuh orangnya dan para wisatawan dapat mengelilingi wisata danau Batur. Dalam waktu tempuh kurang lebih satu jam wisatawan benar-benar terpuaskan apabila berkunjung sambil mengelilingi Danau Batur.
Desa Trunyan yang memiliki banyak keunikan terletak di pinggir danau Batur dan dikelilingi tebing bukit. Sejarah desa terunyan tak lepas dari perjalanan 4 orang putra dari Keraton Sala yang terusik dengan bau harum yang tercium di kediaman mereka. Mereka berempat yang salah seorang adalah putri pergi meninggalkan keraton untuk menemukan sumber bau harum yang mereka cium. Tanpa disadari mereka akhirnya tiba di Bali, tepatnya di desa culik yaitu perbatasan antara Kab. Karangasem dan Buleleng. Ketika tiba di kaki Gunung Batur sebelah selatan, putra terkecil, yaitu seorang putri, ingin berdiam di tempat itu. Maksud putri bungsu disetujui ketiga kakaknya. Maka, tinggallah putri bungsu di tempat itu. Kemudian ia pindah ke lereng Gunung Batur sebelah timur, tempat pura Batur berdiri. Sebagai seorang dewi, ia bergelar Ratu Ayu Mas Maketeg. Setelah meninggalkan adiknya, ketiga putra keraton Sala melanjutkan perjalanannya. Ketika sampai pada suatu dataran di sebelah barat daya Danau Batur, mereka mendengar suara burung. Karena senangnya, putra termuda berteriak kegirangan. Akan tetapi putra tertua tidak senang mendengar teriakan adiknya. Ia menyuruh adiknya untuk tinggal saja di tempat itu, tetapi adiknya tidak mau. Marahlah sang kakak. Ia lalu menendang adiknya hingga jatuh dalam posisi duduk bersila, dan menjadi sebuah patung. Sampai sekarang di tempat yang namanya Kedisan, masih ada sebuah patung dari batu dalam posisi duduk bersila.
Putra tertua dan putra kedua lalu melanjutkan perjalanan menyusuri tepi Danau Batur sebelah timur. Ketika sampai disebuah dataran, mereka berjumpa dengan dua orang wanita yang sedang mencari kutu. Putra kedua amat tertarik. Ia lalu menyapa dua orang perempuan itu. Akan tetapi, putra tertua tidak senang akan tindakan adiknya. Ia lalu menyuruh adiknya tinggal ditempat itu, tetapi adik yang ini pun tidak mau. Marahlah putra tertua dan ditendangnya sang adik hingga jatuh dalam posisi tertelungkup dan cepat-cepat ditinggalkan oleh kakaknya. Selanjutnya sang adik menjadi kepala desa di tempat itu. Sekarang tempat itu terkenal dengan nama Abang Dukuh.
Putra sulung yang tinggal seorang diri melanjutkan perjalanan ke arah utara dengan menyusuri pinggir Danau Batur yang curam di sebelah timur. Tidak berapa lama, ia sampai di suatu dataran. Di tempat itu ia bertemu dengan seorang seorang dewi yang sangat cantik. Dewi itu sedang duduk sendirian di bawah pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang berbau harum. Pohon itulah sumber bau harum yang dicari keempat putra keraton Sala itu.
Putra sulung tertarik kepada dewi yang cantik itu. Ia ingin memperistrinya. Putra sulung lalu pergi menghadap kakak dewi itu untuk meminang adiknya. Pinangan diterima, tetapi putra sulung harus mau menjadi pancer jagat atau pemimpin daerah itu. Putra sulung menyanggupi persyaratan itu. Setelah menikh dan menjadi dewa, putra sulung bergelar Ratu Sakti Pancering Jagat ( jaman dahulu sebutan untuk penguasa suatu wilayah, baik Putra atau Putri disebut Ratu ). Sang dewi, istrinya bergelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar.
Di bawah pimpinan Ratu Sakti Pencering Jagat, daerah yang mereka diami berkembang menjadi sebuah kerajaan kecil. Ratu Sakti Pancering Jagat, lalu menjadi raja dan Kerajaannya diberi nama Trunyan.
Setelah menjadi raja, Ratu Sakti Pancering Jagat merasa was-was. Ia khawatir, jangan-jangan ada orang yang akan menguasi kerajanannya karena terpesona oleh bau harum pohon Menyan yang ada di derahnya. Beliau lalu memerintahkan menghilangkan bau harum yang menusuk hidung itu. Caranya adalah dengan meletakkan jenazah-jenazah orang Trunyan di bawah pohon Taru Menyan yang banyak terdapat di sana supaya membusuk di alam terbuka.
Sejak itu Desa Trunyan tidak lagi berbau harum sekali. Jenazah-jenazah penduduk, yang semula diharapkan akan membusuk di alam terbuka di daerah pemakaman Sema Wayan itu ternyata tidak mengeluarkan bau busuk yang tajam. Hal itu sungguh merupakan suatu keanehan dan keajaiban di daerah itu.
Trunyan memiliki banyak keunikan dan daya tariknya paling tinggi adalah keunikan dalam memperlakukan jenasah warganya. Tidak seperti umat hindu umumnya di bali yang melangsungkan upacara ngaben untuk pembakaran jenasah di Trunyan, jenasah tidak dibakar melainkan hanya diletakkan di tanah pekuburan.
Justru tengkorak tengkorak itulah yang menjadi daya tarik trunyan sebagai desa kuno dan dianggap sebagai desa Bali Aga atau bali asli. Trunyan memiliki tiga tiga jenis kuburan yang menurut tradisi desa trunyan ketiga jenis kuburan itu diklasifikasikan berdasarkan umur orang, meninggal keutuhan jenasah dan cara penguburan. Kuburan utama adalah yang dianggap paling suci dan paling baik. Jenasah yang dikuburkan hanyalah jenasah yang jasadnya utuh, tidak cacat dan jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar atau bukan bunuh diri serta kecelakaan.
Kuburan yang kedua disebut kuburan muda yang khusus diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat. Kuburan yang ketiga disebut setra bantas, khusus untuk jenasah yang cacat dan yang meninggal karena salah pati maupun meninggal karena tidak wajar misalnya kecelakaan dan bunuh diri. Dari ketiga jenis kuburan itu, yang paling menarik adalah kuburan utama atau setra wayah. Kuburan ini berlokasi sekitar 400 meter di bagian utara desa dan dibatasi oleh tonjolan kaki tabing bukit.
Sebagian badannya dari bagian dada ke atas dibiarkan terbuka tidak terkubur tanah. Jenasah tersebut hanya dibatasi dengan ancak saji yang terbuat dari sejenis bamboo membentuk semacam kerucut/ yang digunakan untuk memagari jenasah.
Terdapat 7 liang lahat dan jika semua liang lahat sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan dikubur jenasah yang lama dinaikkan dari lubang/ dan jenasah yang baru akan menempati lubang tersebut. Jenasah lama akan diatur begitu saja di pinggir lubang. Jadi jangan kaget jika di setra wayah berserakan tengkorak manusia yang yang tidak boleh ditanam maupun dibuang. Keunikan trunyan yang lain adalah peninggalan purbakala. Prasasti trunyan tahun saka 891 masehi menyebutkan keberadaan sebuah pura yang bernama Pura pancering jagat. Di pura ini terdapat bangunan suci meru yang bertumpang tujuh. Di dalam meru tersimpan sebuah arca batu megalitik setinggi kurang lebih 4 meter yang oleh masyarakat trunyan sangat disakralkan.
Arca tersebut dikenal dengan nama Arca da donta. Tempat berstananyan ratu gede pancering jagat. Meru tumpang tujuh tersebut dianggap sebagai simbol lelaki. Simbol perempuan ada pada pelinggih Ida Ratu Ayu dalem pingit berupa meru tumpang tiga yang dilengkapi dengan lambang yang tak dapat diukur dalamnya . Linggih simbol purusa pradana menurut kepercayaan masyarakat trunyan dan orang bali lainnya merupakan simbol kesuburan. Trunyan juga mempunyai keunikan lain yakni, Tari Barong Brutuk, yang dipercayai penjelmaan dari Ratu Pancering Jagat.
Tertarik mengunjungi Desa Trunyan? Mari bergabung bersama kami, berwisata ke desa Bali Aga di Bali melalui Paket Wisata Bali Aga Trunyan,Penglipuran,Tenganan 5 Hari 4 Malam.
Read more at http://www.wisatabaliaga.com/blog/keunikan-desa-trunyan-sebagai-desa-bali-aga/#7ih0FsEyOjtJ8WCo.99
Desa Trunyan terkenal dengan adat istiadatnya yang berbeda dari desa lain. Untuk mencapai Desa Trunyan, kita akan terlebih dahulu melewati obyek wisata penelokan. Dari Denpasar akan menempuh jarak kurang lebih 65 km. Dari Penelokan, anda dapat memandang indahnya danau Batur. Terkadang terlihat perahu boat saat melayani wisatawan dalam setiap penyebrangan dari desa Kedisan ke Desa Trunyan. Sebelum menuju Trunyan, anda sebaiknya menikmati pemandangan eksotis Gunung dan danau Batur dari Desa Penelokan. Hembusan angin dan udara yang sejuk, memberikan kedamaian hati bagi para pengunjung. Tempat ini merupakan salah satu obyek wisata favorit di Bali.
Untuk melengkapi fasilitas wisata yang ada di Kawasan Batur di Desa Kedisan dibangun sebuah dermaga boat yang khusus melayani penyebrangan menuju ke Trunyan. Untuk satu buah motor boat, biasanya maksimal mampu menampung tujuh orang wisatawan. Dengan tariff angkutan yang terjangkau yaitu Rp 250,000,- per tujuh orangnya dan para wisatawan dapat mengelilingi wisata danau Batur. Dalam waktu tempuh kurang lebih satu jam wisatawan benar-benar terpuaskan apabila berkunjung sambil mengelilingi Danau Batur.
Desa Trunyan yang memiliki banyak keunikan terletak di pinggir danau Batur dan dikelilingi tebing bukit. Sejarah desa terunyan tak lepas dari perjalanan 4 orang putra dari Keraton Sala yang terusik dengan bau harum yang tercium di kediaman mereka. Mereka berempat yang salah seorang adalah putri pergi meninggalkan keraton untuk menemukan sumber bau harum yang mereka cium. Tanpa disadari mereka akhirnya tiba di Bali, tepatnya di desa culik yaitu perbatasan antara Kab. Karangasem dan Buleleng. Ketika tiba di kaki Gunung Batur sebelah selatan, putra terkecil, yaitu seorang putri, ingin berdiam di tempat itu. Maksud putri bungsu disetujui ketiga kakaknya. Maka, tinggallah putri bungsu di tempat itu. Kemudian ia pindah ke lereng Gunung Batur sebelah timur, tempat pura Batur berdiri. Sebagai seorang dewi, ia bergelar Ratu Ayu Mas Maketeg. Setelah meninggalkan adiknya, ketiga putra keraton Sala melanjutkan perjalanannya. Ketika sampai pada suatu dataran di sebelah barat daya Danau Batur, mereka mendengar suara burung. Karena senangnya, putra termuda berteriak kegirangan. Akan tetapi putra tertua tidak senang mendengar teriakan adiknya. Ia menyuruh adiknya untuk tinggal saja di tempat itu, tetapi adiknya tidak mau. Marahlah sang kakak. Ia lalu menendang adiknya hingga jatuh dalam posisi duduk bersila, dan menjadi sebuah patung. Sampai sekarang di tempat yang namanya Kedisan, masih ada sebuah patung dari batu dalam posisi duduk bersila.
Putra tertua dan putra kedua lalu melanjutkan perjalanan menyusuri tepi Danau Batur sebelah timur. Ketika sampai disebuah dataran, mereka berjumpa dengan dua orang wanita yang sedang mencari kutu. Putra kedua amat tertarik. Ia lalu menyapa dua orang perempuan itu. Akan tetapi, putra tertua tidak senang akan tindakan adiknya. Ia lalu menyuruh adiknya tinggal ditempat itu, tetapi adik yang ini pun tidak mau. Marahlah putra tertua dan ditendangnya sang adik hingga jatuh dalam posisi tertelungkup dan cepat-cepat ditinggalkan oleh kakaknya. Selanjutnya sang adik menjadi kepala desa di tempat itu. Sekarang tempat itu terkenal dengan nama Abang Dukuh.
Putra sulung yang tinggal seorang diri melanjutkan perjalanan ke arah utara dengan menyusuri pinggir Danau Batur yang curam di sebelah timur. Tidak berapa lama, ia sampai di suatu dataran. Di tempat itu ia bertemu dengan seorang seorang dewi yang sangat cantik. Dewi itu sedang duduk sendirian di bawah pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang berbau harum. Pohon itulah sumber bau harum yang dicari keempat putra keraton Sala itu.
Putra sulung tertarik kepada dewi yang cantik itu. Ia ingin memperistrinya. Putra sulung lalu pergi menghadap kakak dewi itu untuk meminang adiknya. Pinangan diterima, tetapi putra sulung harus mau menjadi pancer jagat atau pemimpin daerah itu. Putra sulung menyanggupi persyaratan itu. Setelah menikh dan menjadi dewa, putra sulung bergelar Ratu Sakti Pancering Jagat ( jaman dahulu sebutan untuk penguasa suatu wilayah, baik Putra atau Putri disebut Ratu ). Sang dewi, istrinya bergelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar.
Di bawah pimpinan Ratu Sakti Pencering Jagat, daerah yang mereka diami berkembang menjadi sebuah kerajaan kecil. Ratu Sakti Pancering Jagat, lalu menjadi raja dan Kerajaannya diberi nama Trunyan.
Setelah menjadi raja, Ratu Sakti Pancering Jagat merasa was-was. Ia khawatir, jangan-jangan ada orang yang akan menguasi kerajanannya karena terpesona oleh bau harum pohon Menyan yang ada di derahnya. Beliau lalu memerintahkan menghilangkan bau harum yang menusuk hidung itu. Caranya adalah dengan meletakkan jenazah-jenazah orang Trunyan di bawah pohon Taru Menyan yang banyak terdapat di sana supaya membusuk di alam terbuka.
Sejak itu Desa Trunyan tidak lagi berbau harum sekali. Jenazah-jenazah penduduk, yang semula diharapkan akan membusuk di alam terbuka di daerah pemakaman Sema Wayan itu ternyata tidak mengeluarkan bau busuk yang tajam. Hal itu sungguh merupakan suatu keanehan dan keajaiban di daerah itu.
Trunyan memiliki banyak keunikan dan daya tariknya paling tinggi adalah keunikan dalam memperlakukan jenasah warganya. Tidak seperti umat hindu umumnya di bali yang melangsungkan upacara ngaben untuk pembakaran jenasah di Trunyan, jenasah tidak dibakar melainkan hanya diletakkan di tanah pekuburan.
Justru tengkorak tengkorak itulah yang menjadi daya tarik trunyan sebagai desa kuno dan dianggap sebagai desa Bali Aga atau bali asli. Trunyan memiliki tiga tiga jenis kuburan yang menurut tradisi desa trunyan ketiga jenis kuburan itu diklasifikasikan berdasarkan umur orang, meninggal keutuhan jenasah dan cara penguburan. Kuburan utama adalah yang dianggap paling suci dan paling baik. Jenasah yang dikuburkan hanyalah jenasah yang jasadnya utuh, tidak cacat dan jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar atau bukan bunuh diri serta kecelakaan.
Kuburan yang kedua disebut kuburan muda yang khusus diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat. Kuburan yang ketiga disebut setra bantas, khusus untuk jenasah yang cacat dan yang meninggal karena salah pati maupun meninggal karena tidak wajar misalnya kecelakaan dan bunuh diri. Dari ketiga jenis kuburan itu, yang paling menarik adalah kuburan utama atau setra wayah. Kuburan ini berlokasi sekitar 400 meter di bagian utara desa dan dibatasi oleh tonjolan kaki tabing bukit.
Sebagian badannya dari bagian dada ke atas dibiarkan terbuka tidak terkubur tanah. Jenasah tersebut hanya dibatasi dengan ancak saji yang terbuat dari sejenis bamboo membentuk semacam kerucut/ yang digunakan untuk memagari jenasah.
Terdapat 7 liang lahat dan jika semua liang lahat sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan dikubur jenasah yang lama dinaikkan dari lubang/ dan jenasah yang baru akan menempati lubang tersebut. Jenasah lama akan diatur begitu saja di pinggir lubang. Jadi jangan kaget jika di setra wayah berserakan tengkorak manusia yang yang tidak boleh ditanam maupun dibuang. Keunikan trunyan yang lain adalah peninggalan purbakala. Prasasti trunyan tahun saka 891 masehi menyebutkan keberadaan sebuah pura yang bernama Pura pancering jagat. Di pura ini terdapat bangunan suci meru yang bertumpang tujuh. Di dalam meru tersimpan sebuah arca batu megalitik setinggi kurang lebih 4 meter yang oleh masyarakat trunyan sangat disakralkan.
Arca tersebut dikenal dengan nama Arca da donta. Tempat berstananyan ratu gede pancering jagat. Meru tumpang tujuh tersebut dianggap sebagai simbol lelaki. Simbol perempuan ada pada pelinggih Ida Ratu Ayu dalem pingit berupa meru tumpang tiga yang dilengkapi dengan lambang yang tak dapat diukur dalamnya . Linggih simbol purusa pradana menurut kepercayaan masyarakat trunyan dan orang bali lainnya merupakan simbol kesuburan. Trunyan juga mempunyai keunikan lain yakni, Tari Barong Brutuk, yang dipercayai penjelmaan dari Ratu Pancering Jagat.
Tertarik mengunjungi Desa Trunyan? Mari bergabung bersama kami, berwisata ke desa Bali Aga di Bali melalui Paket Wisata Bali Aga Trunyan,Penglipuran,Tenganan 5 Hari 4 Malam.
Read more at http://www.wisatabaliaga.com/blog/keunikan-desa-trunyan-sebagai-desa-bali-aga/#7ih0FsEyOjtJ8WCo.99
0 Response to "Kuburan Wangi di Desa Trunyan Bali "
Post a Comment